notizen-armee
catatan harian kini dan nanti   
Sabtu, 13 Juni 2009
awal mula perfilman di Indonesia
Sejarah perfilman di Indonesia setiap tahunnya mengalami perkembangan. Untuk mengetahuinya, berikut adalah periode perkembangan film di Indonesia dari tahun ke tahun:

1900-1930
Tahun 1900 mulai hadir pertunjukan film (bioskop) di Batavia, melalui peristiwa Pertoenjoekan Besar yang Pertama, di Manege, Tanah Abang, Kebonjae.
Lima tahun sebelumnya, Robert Paul dari Inggris dan Lumiere Bersaudara dari Prancis mendemonstrasikan proyektor temuannya, hal ini menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar bergerak atau film.
Pada awal kehadiran film di Indonesia, hanya kaum Eropa bisa menyaksikan. Baru menjelang 1920-an, kaum pribumi punya kesempatan menonton film. Setelah adanya kebijakan kelas penonton, yakni untuk kaum Eropa, untuk kaum Cina, dan untuk kaum Pribumi serta Slam atau kaum Islam.


Pemisahan kelas itu menyangkut lokasi pertunjukan, pelayanan atau kualitas proyektor, dan harga tiket tanda masuk. Hingga tahun 1920-an perfilman di Indonesia hanya milik kaum Eropa, berupa film-film impor dari Prancis dan Amerika, meliputi film dokumenter dan film cerita yang semuanya bisu. Pembuatan film pun hanya dilakukan orang-orang Belanda atau orang Eropa lainnya, berupa film dokumentasi tentang alam dan kehidupan Indonesia, atas pesanan pemerintahan Hindia Belanda.
Yang disebut pembuat film waktu itu adalah orang yang mengoperasikan kamera dan pekerjaan teknis lainnya.
Masa itu lahir film Onze Oost atau Timur Milik Kita yang dibuat tahun 1919, dibiayai Kolonial Institute atau Lembaga Kolonial.



Tahun 1924 muncul polemik di koran-koran, mengenai perlunya Hindia Belanda membuat film sekaligus menjadi obyek pembuatan film, sebagai proyek Film untuk kaum Bumiputera.
Tahun 1926 atas inisiatif L Heuveeldorf dan Krugers dengan dukungan Bupati Bandung Wiranatakusumah V, dibuat film cerita berjudul Loetoeng Kasaroeng, mengangkat cerita legenda Jawa Barat, dengan seorang gadis pribumi sebagai pemain. Pembuatan film cerita yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan yang amat berat. Sebab, harus berhadapan dengan film-film import yang telah lebih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing yang dilakukan secara besar-besaran.

1930 - 1940
Tahun 1929, film bicara pertama diputar, itupun film produk Amerika. Baru dua tahun kemudian, Indonesia mencoba pembuatan film bersuara oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Meski kualitasnya belum terlalu bagus, namun mungkin Indonesia-lah yang pertama memulai membuat film bersuara di Asia.
Mulai tahun 1930 perfilman di Indonesia berkembang dalam paham industri. Pembuatan film mulai mempertimbangkan keuntungan finansial. Selain L Heuveeldorf dan Krugers, ada F Carli, keturunan Italia kelahiran Bandung. Muncul kemudian orang-orang Cina, yakni Wong Bersaudara yang terdiri Nelson Wong, Joshua Wong, Othniel Wong. Orang Cina lainnya yang terjun ke film adalah The Teng Chun. Mereka bisa disebut orang Timur pertama yang membuat film di Indonesia.

Masa-masa ini mulai lahir film bicara atau tidak bisu. Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931) film bersuara pertama. Disusul kemudian “Zuzter Theresia” (Bandung 1932). Dalam semangat industri pula, dua kekuatan non-pribumi, Krugers dan Wong Bersaudara, melakukan kerjasama produksi tahun 1937 melahirkan film Terang Boelan dengan sutradara Albert Ballink.
Tercatat kemudian film Terang Boelan menjadi tren film laris yang disukai masyarakat. Masa-masa inilah kaum pribumi mulai terlibat dalam politik perfilman. Seorang wartawan bernama Saerun menjadi penasehat di perusahaan Wong Bersaudara. Ia memunculkan gagasan, agar film-film yang diproduksi memanfaatkan seni tonil atau sandiwara, yang ketika itu mewarnai khasanah seni pertunjukan di Indonesia.
Maka kelompok tonil paling terkenal masa itu, pimpinan Andjar Asmara yang juga wartawan, diajak main film. Mulailah lahir artis-artis pribumi, antara lain Rukiah dan Raden Muchtar. Semakin banyak pula kaum pribumi menjadi pekerja film atau kru.

Tahun 1934 para pelaku industri film membentuk organisasi Gabungan Bioskop Hindia atau Nederlandsch Indiche Bioscoopbond, menyusul adanya organisasi Gabungan Importir Film atau Bond van Film Importeurs.
Pengurus dan anggota awalnya adalah orang-orang non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda tidak menghiraukan.
Namun ketika dalam organisasi itu masuk orang-orang pribumi yang memunculkan wacana ‘nasionalisme’, pemerintah Hindia Belanda mencurigai sebagai wadah yang mengusung ideologi gerakan untuk merdeka.. Pemerintahan Hindia Belanda mulai melakukan pengawasan ketat kepada perkembangan perfilman.
Masa ini, selain nama Saerun dan Andjar Asmara, mulai mencuat nama Usmar Ismail, sebagai seorang aktivis perfilman. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Film Commissie, semacam Badan Sensor Film. Dasar hukumnya Film Ordonantie buatan Pemerintah Belanda.


1940 - 1950
Tahun 1940-an menjadi masa produktif film di Indonesia. Adanya sensor film tidak membuat kreativitas dan industri film surut, malah sebaliknya. Tahun 1940 produksi 13 judul, tahun 1941 menjadi 32 judul. Masa ini bisa disebut masa keemasan pertama film Indonesia, meskipun Film Indonesia sendiri sebenarnya belum lahir. Keemasan justru dicapai di masa ketegangan menjelang Perang Dunia II, saat Jepang menjarah kemana-mana.

Bersamaan dengan panasnya gerakan politik nasionalisme, perfilman pun sarat dengan nuansa politik. Pers dan kalangan terpelajar menuntut film berkualitas, untuk perjuangan, sementara para seniman atau artis dituntut punya tanggungjawab melalui karyanya kepada rakyat. Para wartawan dan sineas menggagas perlunya Klub Kritisi, dengan anggota Wartawan Indonesia, Tionghoa, dan Belanda.
Wacana ini memusingkan pelaku industri film, terutama kalangan Cina, karena merekalah yang banyak membuat film ‘asal menghibur’, mengacu pada sukses Terang Boelan.
Ada respon politik dari kalangan orang film dalam menanggapi wacana tersebut, yakni lahirnya organisasi bernama SARI atau Sjarikat Artist Indonesia pada 28 Juli 1940, di Prinsen Park atau Lokasari Jakarta, dihadiri 58 aktivis film. Pencetusnya adalah Saerun dan Moehammad Sin, wartawan pengasuh ruang film Majalah Pembangoenan.
Tatkala 8 Maret 1942 Belanda menyerah pada Jepang, politik perfilman Indonesia mengalami perubahan besar-besaran. Pemerintahan Militer Jepang menjadikan film sebagai media propaganda politik Asia Timur Raya. Yang pertama dilakukan, menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk JIF milik The Teng Chun, serta Tan’s Film milik Wong Bersaudara. Semua peralatan film disita. Studio film diduduki tentara, sekarang tempat itu menjadi PFN.
Kemudian Pemerintah Militer Jepang mendirikan perusahaan film bernama Jawa Eigha Kosha pada September 1942, berubah menjadi Jepang Nippon Eiga Sha pada April 1943. Perusahaan ini gencar memproduksi film-film propaganda.
Orang-orang film berantakan.. Wong Bersaudara beralih profesi menjadi penjual kecap dan limun. The Teng Chun memimpin sandiwara Djantoeng Hati. Para artis kembali ke media tonil atau sandiwara. Naskah dan tampilan harus disensor oleh Sindenbu atau Badan Propaganda. Badan ini juga membentuk organisasi pengedar film bernama Eiga Haikyusha, organisasi sandiwara bernama Jawa Engeki Kyokai, dan Pusat Kebudayaan bernama Keimin Bunka Shidoso.
Dari sedikit film yang lahir masa ini adalah Berdjoeang dan Ke Seberang karya sutradara Rd Arifien, Di Desa dan Di Menara karya sutradara Rustam Sutan Palindih, film Hoedjan karya sutradara Inu Perbatasari. Para pembuat film ini adalah orang-orang pribumi yang duduk di kursi kekuasaan dalam Pemerintahan Militer Jepang.
Suasana politik seperti itu justru meningkatkan kesadaran kaum pribumi dalam melihat film bukan semata produk industri dan hiburan, melainkan juga sebagai media perjuangan.. Tokoh pergerakan seperti Dr Adnan K Gani pun ikut main.. Tapi karena produksi film makin surut, kegiatan para aktivis lebih banyak ke diskusi dan strategi politik.. Usmar Ismail, Djajus Siagian, D Djajakusuma, menghidupkan klub diskusi film, lalu merintis sekolah film di Yogya. Namun baru beberapa bulan ditutup Pemerintah Militer Jepang.
Masa-masa ini Usmar Ismail membuat sajak berjudul Tjitra, lalu Cornel Simanjuntak membuatkan lagunya. Sajak dan lagu Tjitra lolos untuk dimuat di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Tahun 1946 sajak dan lagu Tjitra difilmkan oleh Usmar Ismail.
Iklim politik berubah tatkala Jepang mulai terdesak di sana-sini, sampai masa revolusi yang melahirkan negara bernama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hanya dalam hitungan hari, berbagai gerakan yang diprakarsai seniman bermunculan, bukan hanya di Jawa tapi juga di Sumatera. Kebanyakan lewat kelompok sandiwara.. Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Djajakusumah, Soerjosumanto, dan lain-lain, mendirikan perkumpulan Seniman Merdeka. Mereka menguasai Pusat Kebudayaan, berkeliling memberi penerangan pada rakyat, ikut di medan perang. Di Sumatera Barat Sjamsoedin Syafei menggerakkan kelompok Ratu Asia..

Studio film Jepang Nippon Eigha Sha direbut dengan kekerasan oleh kelompok pribumi di bawah pimpinan RM Soetarto. Lahir kemudian Berita Film Indonesia atau BFI.
Di Yogyakarta pada tahun 1946 dirintis sekolah film Cine Drama Institute atau CDI, antara lain oleh Djamaluddin Malik dan Mr Soedjarwo. Lalu muncul sekolah film KDA dirintis Huyung, Sri Murtono, Trisno Soemardjo, Kusbini, dan lain-lain. Mereka juga mendirikan Stichting Hiburan Mataram, yang pada tahun 1950 melahirkan film Antara Bumi dan Langit. Waktu itu Yogya adalah pusat pemerintahan darurat.
Saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta dari 1946, sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda. Dia bebas tahun 1949.

1950 - 1960
Keluar dari tahanan, Usmar Ismail membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia atau PERFINI). Bersama Djamaluddin Malik membentuk Perseroan Artis Film Indonesia atau PERSARI. Dari sinilah lahir film The Long March atau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Peristiwa ini dijadikan Hari Film Indonesia atau hari kelahiran Film Indonesia.
Masa-masa berikutnya Perfilman Nasional tumbuh dalam semangat idealistik. Film merangkum perjuangan jati diri bangsa, pencerdasan masyarakat, dan nasionalisme industry. Sistem dan infrastruktur mulai tersusun.. Tapi di lapangan, film yang lahir justru film-film berkualitas rendah.
Para produser Cina yang bangkit dari ketertindasan, ramai-ramai membuat film ‘asal menghibur dan laku’. Mereka juga mendatangkan film-film dari Filipina, Malaysia, dan India, yang kemudian menguasai bioskop. Dr Huyung atau Enatsu Heitaro, mulai meneriakkan perlunya Undang-undang Perfilman. Saat itu organ pemerintah yang berkaitan dengan film hanya Badan Sensor Film. Masyarakat dan pers mulai jengkel karena dominannya film murahan, sementara film-film berkualitas tidak kebagian tempat.
Suasana itulah yang mendorong Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail tahun 1954 membentuk organisasi Gabungan Producers Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Producers Film Indonesia, belakangan menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia atau PPFI. Tahun 1955 pertamakalinya ada Festival Film Indonesia. Hasilnya menuai kontroversi, karena Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. S edangkan Aktor dan Aktris Terbaik masing-masing dua orang dari kedua film itu. Mereka adalah An Alcaff dan Abd Hadi, serta Dhalia dan FifiYoung.

Tahun 1956 para wartawan film mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia atau PERFEPI. Sementara itu Soerjosoemanto merintis berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia atau PARFI. Melalui organisasi-organisasi perfilman ini, dilakukan aksi melawan dominasi film impor dari Filipina, Malaysia, dan India.. PPFI melakukan aksi tutup studio.. Kalangan komunis menuding, Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik yang tokoh politik dan pengurus NU, salah bertindak, karena menurut kalangan komunis, penyebab merosotnya film Indonesia adalah produk-produk Hollywood.

Terjadi pertentangan tajam antara orang film yang dilatarbelakangi politik, antara komunis dan non-komunis. Ini yang membuat FFI gagal terselenggara tahun 1957, 1958, dan 1959. Apalagi Djamaluddin Malik dikenai tahanan rumah dalam kasus politik. Namun begitu bebas, tahun 1960, dia membuat FFI yang ke-2. Pemenangnya film Turang berikut sutradaranya Bachtiar Siagian, yang justru berhaluan komunis. Tapi di ajang Festival Asia Tokyo, film Turang gagal mendapat penghargaan, sementara artis Suzanna yang membintangi film Asrama Dara karya Usmar Ismail, meraih penghargaan sebagai Aktris Cilik Terbaik.


1960 - 1970
Era 1960 sampai 1966 adalah masa ketika pergulatan politik ikut mewarnai gerakan kesenian dan kebudayaan, termasuk perfilman nasional.. Setelah ikut membuat film-film ‘asal laku’, di antaranya gaya India berjudul Tiga Dara, Perfini melahirkan film Pedjoeang yang mengantarkan Bambang Hermanto menjadi Aktor Terbaik Festival Moskow tahun 1961. Tahun 1962 Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail bekerjasama dengan produser Filipina, membuat Holiday in Bali, yang merupakan film berwarna pertama. Dilanjutkan kerjasama dengan Singapura membuat film Bajangan di Waktoe Fadjar. Situasi politik yang panas tak banyak mendorong perkembangan perfilman nasional.

Secara politik pemerintah merangkul perfilman, dengan dibentuknya Direktorat Film - Departemen Penerangan. Pejabatnya Drs Syuman Djaja , lulusan Akademi Sinematografi Moskow tahun 1965.. Selanjutnya dibentuk Dewan Produksi Film Nasional atau DPFN yang menghasilkan sejumlah film percontohan. Film tersebut antara lain Apa Jang Kau Tjari Paloepi karya Asrul Sani, yang pada tahun 1970 menjadi Film Terbaik Festival Film Asia. Pertamakalinya film Indonesia mendapat penghargaan di ajang festival internasional. Tahun 1967 Syuman Djaya sebagai pejabat pemerintah yang sekaligus pekerja film, mendorong terselenggaranya Pekan Apresiasi Film. Ini yang kemudian dianggap sebagai FFI ke-3. Tidak ada Film Terbaik. Sedangkan Sutradara Terbaik adalah Misbach Yusa Biran lewat film Di Balik Cahaya Gemerlapan.

1970 - 1980
Tahun 1970 kalangan wartawan melalui PWI Jaya Seksi Film, dipelopori Rosihan Anwar, Harmoko, Zulharman, membuat festival bertajuk Pemilihan Best Actor, Actress. Pada tahun ketiga penyelenggaraan, yakni 1973, bertubrukan dengan FFI yang digelar oleh Yayasan Film Indonesia atau YFI, dengan pelopornya Turino Djunaedi. Dua versi festival ini berlangsung sampai 1975., Pemerintah akhirnya memaksa versi PWI Jaya Seksi Film diintegrasikan dengan FFI. PWI Seksi Film pun masuk dalam YFI sebagai penyelenggara FFI yang didukung resmi pemerintah melalui Departemen Penerangan. Setelah itu FFI berlangsung rutin, dengan ketua penyelenggara bergantian, berasal dari wakil-wakil organisasi perfilman.

Dekade 1970 aampai 1980 merupakan masa terbangunnya pondasi apresiasi yang penuh semangat dari masyarakat, menuju tertatanya infrastruktur perfilman nasional berikut regulasinya. Masa-masa ini Perfilman Indonesia mencapai puncak kejayaannya, dengan produksi mencapai 100 sampai 120 judul pertahunnya. Organisasi-organisasi perfilman bergiat aktif, dengan mendapat dukungan dan fasilitasi dari pemerintah. Ini merupakan hasil rintisan dari Menteri Penerangan Ali Murtopo yang dilanjutkan oleh Menteri Penerangan Harmoko. Sistem politik Orde Baru dari satu sisi memberikan peluang bagi film Indonesia untuk tumbuh dan berkembang dan baik, namun dari sisi lain menggiring perfilman berada dalam posisi berkooptasi dengan kekuasaan. Hal ini mengurangi bobot kemandirian perfilman itu sendiri, sehingga ketika politik bergejolak, maka perfilman Indonesia juga bergejolak seperti mengulang era 1960-an.

1980 - 1990
Tahun 1981 dibentuk Dewan Film Nasional atau DFN. Setahun berikutnya, tahun 1982, FFI diambil penyelenggaraannya, dari YFI oleh Dewan Film Nasional di bawah Departemen Penerangan. Tahun 1985 FFI ricuh oleh isu korupsi. Tahun 1987 Dewan Film Nasional dan Departamen Penerangan membentuk Panitia Tetap FFI untuk masa kerja 5 tahun.Sampai tahun 1992 masa kerja Pantap FFI habis. FFI 1992 pun menjadi FFI terakhir sampai 12 tahun kemudian.
Pada tahun berhentinya FFI itulah, lahir dan disahkan Undang-undang No 8 tahun 1992 tentang Perfilman.Lahirnya Undang-undang Perfilman, melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, serta melalui rintisan yang panjang, dengan semangat memberikan perlindungan pada perfilman nasional.. Melalui Undang-undang Perfilman ini, Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan sekaligus perlindungan pada film Indonesia, di mana saat itu dominasi film-film impor semakin merajalela, kebijakan open air policy melahirkan sejumlah televisi swasta yang memperlakukan film dengan kecenderungan mematikan produksi lokal. Undang-undang inilah yang kemudian menggubah Badan Sensor Film menjadi Lembaga Sensor Film dan Dewan Film menjadi Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Selain pembentukan institusi perfilman yang sepenuhnya berada di bawah pemerintah, selama satu dekade berikutnya, hingga tahun 2000, pelaksanaan Undang-Undang Perfilman terasa mandul. Dominasi sistem kapitalistik yang mewarnai perfilman dan televisi, memperosokkan film Indonesia ke fenomena film-film bertema seks dan mistik yang berkualitas rendah. Setelah film-film jenis itu bertahan beberapa tahun, Indonesia akhirnya memasuki apa yang disebut mati suri perfilman nasional, ditandai dengan bangkrutnya bioskop-bioskop di berbagai daerah, serta surutnya secara drastis produksi film nasional. Bantuan pemerintah berupa penggandaan copy film malah hanya memperbanyak film-film bertema seks tersebut dan tidak berpengaruh pada produksi film Indonesia maupun apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia.

Upaya-upaya menggerakkan film nasional dilakukan lagi, dengan adanya fasilitasi-fasilitasi dari unsur pemerintah untuk membuat film berkualitas.. Muncul antara lain film Cemeng 2005, Bulan Tertusuk Ilalang, Fatahillah, hingga Daun Di Atas Bantal. Namun upaya ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Lewat fasilitasi pemerintah pula, masa ini tampil generasi sutradara Garin Nugroho yang melanjutkan mata rantai perjalanan perfilman nasional dengan film-film yang diterima di festival-festival film internasiona, meskipun sulit diterima masyarakat Indonesia sendiri.

Masa suram perfilman nasional mencapai puncaknya tatkala iklim politik bergejolak menjelang tahun 2000. Era Orde Baru tumbang dalam sebuah gerakan reformasi. Organisasi-organisasi perfilman yang menjadi tiang penyangga perfilman nasional ikut lumpuh. Departemen Penerangan yang menjadi naungan perfilman nasional dibubarkan di era pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid. Perfilman Nasional sudah mati suri, lalu kehilangan induk.
Organisasi-organisasi Perfilman masih bertahan namun dalam kondisi sempoyongan. Organisasi-organisasi film ini adalah PPFI, KFT, PARFI, SENAKKI, GPBSI, GASFI, PWI Jaya Seksi Film, Perfiki. Pada era ini sempat muncul organisasi perfilman lain seperti GAN (Gabungan Artis Nusantara), Parsi (Persatuan Artis Sinetron Indonesia), dan sejumlah organisasi baru, namun aktivitasnya tidak banyak berarti.

2000 - 2008
Dekade setelah tahun 2000 adalah masa bergeraknya kembali perfilman nasional.. Dimulai dengan munculnya film Petualangan Sherina yang yang disambut antusias oleh masyarakat. Sebuah generasi baru perfilman nasional tampil, antara lain Mira Lesmana yang membuat Petualangan Sherina , kemudian melahirkan film Ada Apa dengan Cinta. Dia bekerjasama dengan sutradara Riri Riza, serta Rudy Soedjarwo. Tampil pula produser Nia Dinata, yang membuat film Ca Bau Kan. Selanjutnya disusul tampilnya sineas-sineas muda, kebanyakan berasal dari keluarga mapan, yang terjun ke film secara instan, bersandar pada kekuatan modal. Berbeda dengan era sebelumnya di mana kebanyakan sineas berlatarbelakang seniman dengan proses kreatif, pada era ini kebanyakan sineas berlatarbekang hobi, meskipun di antaranya juga berlatarbelakang pendidikan film.
Indonesia memasuki era baru, ditandai dengan pergerakan kembali produksi film nasional, antara lain didukung dengan teknologi digital yang kemudian ditransfer ke seleloid. Para pelaku industri perfilman era sebelumnya ikut bergerak, antara lain dengan munculnya film Kafir, Joshua, Petualangan Seratus Jam, Eiffel I’m in Love, bersama-sama dengan pelaku industri pendatang baru, yang melahirkan film-film seperti Djelangkung, Cinta 24 Karat, Biarkan Bintang Menari, dan seterusnya.

Era digital juga menumbuhkan komunitas pembuat film-film independen di berbagai daerah. Masa-masa ini menjadi era kebebasan berkreasi dalam perfilman, namun masa di mana industry perfilman tidak memiliki pijakan atau sebuah sistem yang mendukung.

Bioskop-bioskop sudah banyak yang bangkrut, dari yang semula sekitar 4000 layar sekarang tinggal sekitar 400 layar. Itu pun didominasi oleh jaringan Cineplex 21 yang kemudian mekar dengan Cinema XXI. Muncul kemudian jaringan bioskop Blitz di Bandung dan Jakarta, namun tak banyak berpengaruh pada film Indonesia. Blitz hadir semata-mata untuk kepentingan bisnis hiburan. Bioskop-bioskop di luar jaringan Cineplex-21 dan Cinema XXI kebanyakan adalah bioskop-bioskop kelas bawah, sekadar bertahan, lantaran kesulitan mendapatkan suplay film.
Produksi film Indonesia memang terus meningkat, tahun 2008 ini diperkirakan akan mencapai 70 sampai 80 judul. Namun fasilitas untuk penayangannya justru terasa tidak memadai. Pasar film Indonesia hanya di Jakarta dan beberapa kota besar, tanpa ada alternatif lain, kecuali pasar dalam bentuk penayangan di televisi dan peredaran untuk home intertainment (VCD/DVD) . Selain bioskop-bioskop terlanjur telah banyak yang bangkrut, masa ini juga tidak adanynya lagi jaringan peredaran dan pemasaran seperti 1970-an, di mana ada Perfin (Pusat Peredaran Film) yang mengatur masalah peredaran.


Juga tidak seperti masa itu, di mana dengan banyak bioskop di berbagai daerah, memunculkan distributor-distributor untuk sejumlah kawasan edar, sehingga film tidak hanya bertumpu pada jaringan bioskop tertentu. Sekarang ini peredaran, pendistribusian, dan pemasaran film, praktis terpusat hanya pada satu jaringan peredaran yang sekaligus mendominasi bioskop yang ada di Indonesia.

Dalam suasana kreativitas bergairah sementara industri perfilman tidak memiliki sistem yang mendukung, hal yang ironis justru berlangsung. Terjadi ketidakserasian antargenerasi perfilman, juga antara masyarakat perfilman dengan pemerintah, antara masyarakat film dengan pers. Bahkan ketidakserasian antara jaringan pelaku industri film sebenarnya juga berlangsung, kendati lebih berlatarbelakang kepentingan bisnis. Pemerintah menempatkan perfilman nasional berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang kemudian menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Perfilman nasional punya induk lagi, namun infrastruktur terlanjur centang-perenang.
Tahun 2004 FFI yang 12 tahun terhenti, kembali diselenggarakan, dengan fasilitas pemerintah. Hadirnya peristiwa FFI justru semakin memperlihatkan adanya kesenjangan antarmasyarakat perfilman. Kesenjangan ini memuncak tahun 2006 tatkala sejumlah penerima Piala Citra mengembalikan simbol penghargaan dari FFI tersebut. Perfilman nasional semakin centang-perenang ketika Badan Pertimbangan Perfilman Nasional atau BP2N bentukan pemerintah, membatalkan keputusan Dewan Juri FFI atas film Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006.
Selain FFI juga berlangsung festival-festival film lain, seperti Jakarta International Film Festival (Jiffest), Festival Film Bandung, Festival Film Jakarta, Indonesian Movie Award, Bali International Film Festival, Asia Film Festival Yogyakarta, serta festival-festival dengan spesifikasi tertentu seperti Festival Film Independen Indonesia atau Festival Film Dokumenter, dan sebagainya.

Perfilman nasional dekade 2000 hingga 2008 ini kiranya menjadi proses pembelajaran baru bagi masyarakat film, juga bangsa, dalam mengelola apa yang disebut kebebasan, demokrasi, serta dalam memperlakukan film sebagai karya cipta budaya sekaligus sebagai produk industri. Sejauh ini kebebasan dan demokrasi dalam perfilman sedang memperlihatkan eforianya, di mana masing-masing pihak di kalangan masyarakat film berebut ruang untuk dirinya sendiri dengan berusaha untuk menutup ruang bagi yang lain.

Lahir kelompok Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang melakukan pemboikotan terhadap FFI, juga beberapa pendukungnya mengajukan gugatan uji materi Undang-undang Perfilman ke Mahkamah Konstitusi dengan isu utama pembubaran Lembaga Sensor Film. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan mereka. Hingga menjelang tahun 2010, pergerakan film nasional ditandai dengan dominannya kembali pelaku-pelaku industri film era sebelum 2000. Sementara generasi baru yang muncul setelah tahun 2000, belakangan lebih tertarik memasuki pergulatan di wilayah politik perfilman.



SUMBER: http://festivalfilmindonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=15&Itemid=36&limit=1&limitstart=1
http://teaterproses.blogspot.com/2008/03/sejarah-film-indonesia.html
posted by notizen-armee @ 19.52  
1 Comments:

Posting Komentar

<< Home
 
About Me

Name: notizen-armee
Home: Bandung, Jawa Barat, Indonesia
About Me:
See my complete profile
Previous Post
Archives
Shoutbox

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus.

Links
Powered by

Blogger Templates

BLOGGER